Beranda | Artikel
Agama Anak Tiri, Kedokteran Anak Emas?
Selasa, 21 Februari 2012

Judul di atas bermaksud menggambarkan bahwa seringkali masyarakat secara umum bersikap berbeda di antara kedua hal ini. Yang berkaitan dengan kedokteran maka diutamakan dan dipilih yang terbaik sedangkan untuk urusan agama maka hanya sekedarnya atau bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali. Sebagaimana anak tiri dan anak kandung maka jiwa manusia secara kodrat lebih mengutamakan anak kandung. Walaupun bisa jadi anak tiri lebih disayang, tetapi kaidah mengatakan,

الأمر للغالب

“sesuatu yang teranggap biasanya adalah mayoritas/yang paling sering”

 

Ketika sakit

Ketika tubuh mengalami sakit atau tertimpa penyakit maka manusia akan menempuh seluruh cara agar sembuh dan mencari kesembuhan di manapun dan semua upaya dicurahkan. Kita lihat jika seseorang sakit pusing saja, maka ia mencari obatnya, belum lagi yang terkena penyakit parah, misalnya kasus seorang tokoh di Indonesia yang terkena kaknker hati, ia pergi melakukan transplatasi hati di Cina dengan biaya operasi saja 2 miliyar, belum lagi biaya keberangkatan, tinggal dan perawatan. Akan tetapi qaddarullah ia tidak sembuh dan meninggal.

Akan tetapi ketika yang sakit adalah hati, ia sombong karena menjadi atasan dan kaya, kasar kepada Istri, hasad kepada teman seperjuangan, terlena dengan manisnya dunia, terkena penyakit syahwat, pikiran terkena berbagai syubhat/kerancuan pemahaman agama dan hati cenderung senang melakukan maksiat bersama jahil mengenai urusan agama, maka kebanyakan manusia lalai, santai saja, seloah tidak terjadi apapun. Karena hati sudah kotor bahkan tertutup, imannya habis tidak peka lagi terhadap maksiat dan dosa.

Mari kita bandingkan:

Jika yang sakit adalah tubuh, maka ia sejatinya adalah rahmat Allah yang bermaksud baik kepada kita. Jika kita bersabar maka bisa jadi dosa kita terhapus semuanya dan bisa jadi jika kita meninggal akibat penyakit tersebut maka kita menghadap Allah dengan tanpa dosa sedikitpun karena sudah terhapus.

 

Dari Abu Said Al-Khudri dan dari Abu Hurairah radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى

وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

 

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573)

 

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

مَا يَزَا لُ البَلاَءُ بِلْمُؤْمِنِ وَلْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَا لِهِ

حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَة

 

“Cobaan itu akan selalu menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada diri anaknya, ataupun pada hartanya, sehingga ia bertemu kepada Allah tanpa dosa sedikitpun.” [HR. At-Tirmidzi no.2399, beliau berkata: hasan shahih, demikian pula syaikh Al-albani]

 

Sedangkan penyakit hati, maka ia adalah kebinasaan dunia dan akhirat. Seharus iman dan hati seorang muslim cepat mendeteksinya, berupa ilmu akan hal tersebut dan berupa kesedihan ketika melakukannya dan segera bertaubat kemudian membalasnya dengan melakukan kebaikan, kemudian jika hati sakit dan sulit untuk disembuhkan seperti sangat sering sombong dan sangat lemah terhadap godaan wanita maka ia bawa ke tempat-tempat melunakkan hati seperti masjid, orang miskin , orang sakit dan perkuburan untuk mengingat akhirat.

Al-Quran menunjukkan bahwa hati ini bisa sakit dan dihinggapi penyakit, Allah Ta’ala berfirman,

فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً

 

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu  Allah menambah penyakitnya.” (Al-Baqarah: 10)

 

Allah juga berfirman,

لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ

 

Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan setan, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang keras hatinya.” (Al-Hajj: 53)

 

Ketika berobat

Ketika seseorang sakit badannya maka ia akan mencari dokter spesialis atau dokter yang terbaik untuk menyembuhkannya. Harus dokter yang berkompeten dan sudah terakui ilmunya. Sedangkan jika hatinya sakit, jika ingin mengobatinya kepada dokter hati [yaitu ulama atau ustadz], maka ia memilih sekedarnya saja, ia tidak mengecek bagaimana keilmuan dokter hati tersebut, bagaimana akidahnya, bagaimana manhaj bergamanya. Apakah ustadz tersebut telah lama menuntut ilmu, telah menguasai ilmu-ilmu dasar, menguasai bahasa Arab atau minimal punya kompetensi dan pengalaman menyembuhkan penyakit hati.

Selayaknya jika hati kita sakit maka kita meminta bimbingan kepada dokter hati, ulama dan ustadz yang ahli bartanya kepada mereka yang memang ahlinya. Allah Ta’ala berfirman,

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

 

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [An Nahl : 43].

 

Ketika menuntut ilmu dan belajar

Ketika seseorang anak berkata,

“pak saya ingin masuk pondok pesantren, ingin menghapalkan Al-Quran dan mengusasi tafsirnya agar saya memahami firman Allah  dan ingin mempelajari agama, petunjuk hidup ini dengan benar”

Maka terkadang orang tua berkata,

“kamu kan pintar, kenapa ga masuk ke fakultas kedokteran saja? Kalau kamu masuk kedokteran bapak dukung penuh, ga usah pikirin biaya lagi”

 

Bahkan ada kisah nyata yang kami dengar sendiri dari orangnya, jika ia masuk pondok pesantren maka ia tidak akan dibiayai.  Dan  masyarakat umumnya jika untuk masuk fakultas kedokteran, maka dukungan penuh kepada anaknya, dimasukkan tempat kursus tes masuk yang terkenal, berapapun sumbangan masuk akan dibayar.

Padahal ilmu agama adalah ilmu yang sangat mulia dan lebih mulai dari Ilmu kedokteran, Allah  Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

 

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” [Al-Mujadilah : 11]

 

Ath-Thabari rahimahullahu berkata,

ويرفع الله الذين أوتوا العلم من أهل الإيمان على المؤمنين،

الذين لم يؤتوا العلم بفضل علمهم درجات، إذا عملوا بما أمروا به

 

 “Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu di hadapan orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu mereka, jika mereka mengamalkan ilmu tersebut.” [Jami’ Bayan fii Ta’wilil Quran 23/246, Muassasah Risalah, Asy-Syamilah]

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan memahamkan baginya agama (Islam).”  [HR. Al-Bukhari no. 2948 dan Muslim no. 1037]

Dan beliau bersabda,

إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما و يضع به أخرين

 

“sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan kitab ini [Al-Quran] sebagian orang dan akan merendahkan dengannya sebagian yang lain.” [HR. Muslim]

Dan ketika seseorang menjadi ustadz di lingkungannya maka ia juga akan dihormati. Bupati, lurah, camat dan bahkan dokter juga akan menghormati ustadz tersebut.

 

Ketika menerapkan ilmu

Seorang dokter jika ingin menerapkan ilmunya kepada pasien, maka ia harus belajar dahulu dengan lama sekitar 6 tahun lebih [untuk mendapat gelar dokter]. Dan ia harus melalui beberapa tahap.

1.belajar ilmu teori

2.belajar prkatek dengan manekin [boneka untuk praktek]

3.belajar praktek dengan pasien sehat terlatih

4.belajar praktek dengan pasien sakit dengan bimbingan [co-ass]

5.praktek mandiri

Akan tetapi untuk ilmu agama, maka orang dengan mudahnya menjadi ustadz, dengan mudahnya menjadi rujukan pertanyaan dalam masalah agama, dengan mudahnya memberikan fatwa dengan mudahnya menjadi khatib dan penceramah. Padahal ia adalah artis baru taubat, ia baru sekedar baca-baca buku terjemahan tanpa berguru, ia baru sekedar pernah naik haji, baru sekedar pernah tinggal di Arab saudi saja.

Mari kita bandingkan:

Untuk ilmu kedokteran jelas ia harus menguasainya, jika tidak maka ia bisa melakukan mal praktek dan bisa merugikan pasien dan bahkan bisa dituntut jika melakukan kecerobohan. Bahkan dalam agam Islam, dokter yang asal praktek saja tanpa ilmu yang mumpuni kemudian melakukan kesalahan maka ia harus bertanggung jawab/ganti rugi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ

 

“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.” [HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang  lain, hadits hasan no. 54  kitab Bahjah Qulub Al-Abrar]

 

Begitu juga dengan ilmu agama, seseorang harus belajar dahulu dengan waktu yang tidak pendek. Ia butuh waktu yang lama agar bisa menjadi seorang ustadz yang akan membimbing masyarakat untuk memahami agama. Sebagaimana perkataan imam Syafi’i rahimahullahu,

أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إلَّا بِسِتَّةٍ        سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ

ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌوَبُلْغَةٌ        وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانِ

Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara

Akan aku kabarkan padamu perinciannya degan jelas

Kecerdasan, kemauan keras, semangat, bekal cukup

Bimbingan ustadz dan waktu yang lama [Diwan Syafi’i]

 

Dan jika salah dalam memahami dan menyampaikan agama atau mal praktek dalam agama, maka dampaknya sangat berbahaya, bisa menyesatkan orang banyak dan berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu yan merupakan dosa terbesar, bahkan diatas dosa kesyirikan..

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ

وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

 

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu). (Al A’rof: 33)”

 

Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan ayat mengatakan,

فرتب المحرمات أربع مراتب، وبدأ بأسهلها وهو الفواحش، ثم ثنى بما هو أشد تحريما منه وهو الإثم والظلم، ثم ثلث بما هو أعظم تحريما منهما وهو الشرك به سبحانه، ثم ربع بما هو أشد تحريما من ذلك كله وهو القول عليه بلا علم، وهذا يعم القول عليه سبحانه بلا علم في أسمائه وصفاته وأفعاله وفي دينه وشرعه

 

“Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al fawaahisy (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan keharaman yang lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang benar. Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi yaitu berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.” [I’lamul muwaqqi’in hal. 31, Dar Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut, cet. I, 1411 H, Asy-Syamilah]

 

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid

28 Rabiul Awal 1433 H bertepatan 21 Februari 2012

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

 


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/agama-anak-tiri-kedokteran-anak-emas.html